Penjaga Nyala Api Buddhayana

Rp95.000

Hanya selang sekitar 1,5 tahun setelah Peristiwa G30S/1965, tepatnya 20 Mei 1967, Romo Maha Upasaka Pandita Phoa Krishnaputra menginisiasi Perayaan Waisak yang melibatkan umat Buddhis lintas sekte di Kota Medan. Padahal saat itu, situasi anti-Tionghoa masih sangat terasa. Orang Tionghoa dianggap “terlibat” dalam peristiwa Gestapu. Mereka juga distigma ateis, tak bertuhan atau tak beragama. Pada 10 Desember 1965, Kota Medan juga baru diguncang peristiwa kekerasan anti-Tionghoa. Ratusan orang Tionghoa mengalami tindak kekerasan penganiayaan, tokotoko mereka dijarah, beberapa gedung sekolah dan kantor organisasi disita.

Tahun 1968, Romo Phoa kembali menyelenggarakan Perayaan Waisak lintas sekte, yang dihadiri Pangdam II/Bukit Barisan, Brigjen TNI Sarwo Edhie Wibowo, pemimpin gerakan penumpasan PKI dan ormas yang dianggap menjadi onderbouw-nya di Sumatra Utara. Melihat konteks kala itu, penyelenggaraan Perayaan Waisak yang umumnya diikuti orang Tionghoa justru melindungi komunitas ini yang tengah menjadi sasaran sentimen antiTionghoa.

Pada 1970-an saat menjadi anggota Badan Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) Medan, Romo Phoa kerap blusukan ke sejumlah cetiya dan vihara-vihara kecil di sana, membagi-bagikan patung Buddha dan buku agama Buddha. Misinya, agar cetiya dan vihara kecil itu tak dikategorikan sebagai klenteng oleh PAKEM. Saat itu, pemerintah sedang mengkaji apakah ajaran Sang Buddha akan dikategorikan sebagai “aliran kepercayaan” atau “agama”.

Bersama Romo Dicky Dharmakusuma dan U.P. Prajnamitra, Romo Phoa berhasil merumuskan Doktrin Sanghyang Adi Buddha sebagai konsep “Ketuhanan” dalam agama Buddha tahun 1979. Alhasil, agama Buddha diakui sebagai salah satu agama resmi di Indonesia, dan sejak itu dapat berkembang secara leluasa hingga kini. Masih banyak legasi lain yang telah dirajut Romo Phoa Krishnaputra dalam menyebarluaskan agama Buddha di Indonesia, terutama di Sumatra Utara dan Aceh.

Buku ini hadir untuk merawat ingatan kolektif masyarakat Buddhis terhadap jejak langkah dan pengabdian salah seorang murid Buddha, sekaligus salah seorang murid yang dipandang paling dekat dengan Sukong Ashin Jinarakkhita.

Silakan daftar atau login ke akun Kompas.cloud Anda untuk mulai bertransaksi di Gerai Kompas dan mendapatkan bonus CASHBACK (berupa poin yang dapat menjadi DISKON untuk transaksi selanjutnya).

Daftar/Login Sekarang

Hanya selang sekitar 1,5 tahun setelah Peristiwa G30S/1965, tepatnya 20 Mei 1967, Romo Maha Upasaka Pandita Phoa Krishnaputra menginisiasi Perayaan Waisak yang melibatkan umat Buddhis lintas sekte di Kota Medan. Padahal saat itu, situasi anti-Tionghoa masih sangat terasa. Orang Tionghoa dianggap “terlibat” dalam peristiwa Gestapu. Mereka juga distigma ateis, tak bertuhan atau tak beragama. Pada 10 Desember 1965, Kota Medan juga baru diguncang peristiwa kekerasan anti-Tionghoa. Ratusan orang Tionghoa mengalami tindak kekerasan penganiayaan, tokotoko mereka dijarah, beberapa gedung sekolah dan kantor organisasi disita.

Buku ini hadir untuk merawat ingatan kolektif masyarakat Buddhis terhadap jejak langkah dan pengabdian salah seorang murid Buddha, sekaligus salah seorang murid yang dipandang paling dekat dengan Sukong Ashin Jinarakkhita.

Weight 0,3 kg
Dimensions 14 × 21 × 3 cm
Penulis

Penerbit

Penerbit Buku Kompas

Tahun terbit

Halaman

224 halaman

Genre

Biografi

Reviews

There are no reviews yet.

Only logged in customers who have purchased this product may leave a review.

SKU: 582417030 Categories: ,